Kelopak mata Topo belum sepenuhnya terbuka, kelopak matanya masih separuh terbuka. Ia mengucek matanya yang lengket akibat
belek
yang dengan punggung tangannya, tahi mata yang mengeras itu kemudian
rontok seperti upil yang dikorek oleh jemari. Kini Topo tidak lagi
merem melek, kedua kelopak matanya sudah benar-benar terbuka. Sempurna.
Ia lalu menguap melenguh menuntaskan sisa kantuk yang masih menggantung,
mulutnya mengeluarkan bunyi dan aroma yang tidak sedap, untuk didengar
apalagi diendus. Topo bangkit dari ranjangnya meninggalkan suara deritan
yang membuat ngilu pendengaran. Rupanya ranjang besi Topo perlu juga
dilumeri
gemuk atau oli, tapi ia tidak peduli. Ia masih bisa
tidur nyenyak dan tidur lebih lama di ranjang berderit itu. Begitulah
Topo, untuknya tidak penting tempat tidur yang bagus, yang penting
kualitas tidurnya. Falsafah tidur yang cukup bermakna.
Topo bergeliat merenggangkan pinggangnya ke kiri ke kanan, ke depan ke belakang, juga meninggalkan suara
gemeretek, tanda tulang belulang Topo perlu juga dilumeri kalsium, bukan
gemuk
atau oli. Tapi pagi ini ia tidak butuh kalsium, apakah yang bersumber
dari susu atau biji kedelai. Tidak penting baginya minum susu kalsium.
Pagi ini, ia hanya ingin segelas kopi panas, pahit boleh, manis lebih
mantap.
Sedikit berjalan malas, Topo mencapai meja makan. Tetapi tidak ditemukan
segelas kopi panas yang ia inginkan, hatinya agak sedikit geram. Apa
saja kerja istriku pagi ini, rutuknya, menyediakan segelas kopi panas
saja tidak becus! Namun Topo bukanlah tipe lelaki yang mudah
mengeluarkan bentakan atau teriakan untuk perempuan, apalagi perempuan
itu istrinya. Ia hanya
ngedumel, itu pun dalam hati.
Istriku kemana? tanyanya lirih.
Topo beranjak ke dapur, tidak ditemukan Narti istrinya di dapur. Topo
kembali ke meja makan, lalu ke halaman depan rumah, Narti tidak ada juga
di situ.
Kemana istriku pagi-pagi begini? gerutunya sambil menggaruk kepala.
Topo sejenak tertegun di bawah kusen pintu rumahnya. Pandangannya tertuju ke arah tiang bendera yang berdiri
doyong ke kiri dari tempatnya berdiri. Akan tetapi perhatian Topo bukanlah tertuju kepada tiang bendera yang
doyong ke kiri itu.
Walah! Kemana benderanya? teriak Topo terkejut sendiri.Topo lalu
mendekati tiang bendera itu, dengan cermat diperhatikannya tanda-tanda
di sekitar tiang bendera itu. Tidak ada tanda-tanda pencurian, bendera
merah putih yang kemaren sore ia kibarkan di tiang bambu itu lenyap.
Apa mungkin tali pengikatnya lepas? katanya bertanya dalam hati. Tetapi
kalau tali pengikatnya lepas terbawa angin, pasti masih ada sisa tali di
ujung tiang ini, batinnya.
Masih diliputi tanda tanya hilangnya bendera merah putih dari tiang
bendera di halaman rumahnya , pandangan mata Topo mengedari halaman
rumah tetangganya. Betapa sangat terkejutnya ia, semua tiang bendera di
rumah tetangganya pun tanpa kibaran merah putih.
Gawat ini! Gawat-gawat-gawatKeterlaluan ini, hari ini
khan
tanggal 17 Agustus, kenapa tetanggaku tidak mengibarkan bendera merah
putih, kenapa mereka tidak mengibarkan sang merah putih. Apakah rasa
nasionalisme orang-orang Indonesia jaman sekarang termasuk tetanggaku,
sudah pupus, sudah mampus?! katanya geram.
Topo masih berpikir, kalau begitu kemaren sore hanya dirinya yang
memasang bendera merah putih di tiang bendera rumahnya. Tetapi kenapa
bendera merah putih yang ia kibarkan kemaren sore, pagi ini ikut hilang?
Apakah ada orang yang benci kepadaku karena aku satu-satunya warga yang
memasang bendera di halaman rumahku? katanya membatin wajah berubah
muram.
Ke mana rasa nasionalisme orang-orang di lingkunganku, di mana rasa
menghormati jasa-jasa para pahlawan pembela tanah air dari penjajahan?
Dan apa susahnya hanya memasang setahun sekali sebuah bendera merah
putih, untuk sekadar merayakan bahwa negara ini sudah merdeka
bertahun-tahun lamanya! Topo benar-benar kesal atas hilangnya bendera
miliknya dan tentu saja dengan perilaku tetangganya yang anasionalis
###
Topo bukanlah terlahir sebagai anak seorang pejuang, apalagi anak
seorang pahlawan atau tentara. Topo hanya seorang lelaki berusia empat
puluhan yang sewaktu masih kanak-kanak sempat mengikuti sebuah
organisasi kepanduan, Pramuka namanya. Hanya dari kegiatan kepramukaan
kemudian ia mengerti sedikit tentang nasionalisme dan kebanggaan sebagai
warga negara suatu bangsa yang merdeka.
Ekspresi rasa nasionalis dan wujud perayaan kemerdekaan Indonesia secara
rutin, setiap tahunnya, ia lakukan dengan mengibarkan bendera merah
putih di halaman rumahnya. Topo bukan juga Ketua RT atau RW apalagi
Lurah di kampung ini, sehingga ia tentu tidak mempunyai kekuasaan untuk
memerintahkan warga mengibarkan bendera merah putih. Sama sekali bukan.
Gara-gara benderanya hilang dan ia tidak melihat satupun bendera yang
berkibar di lingkungannya lelaki ini sampai lupa kekesalan terhadap
istrinya Narti yang tidak menyediakan segelas kopi panas, dan juga ia
lupa mencari tahu keberadaan Narti yang sempat ia cari-cari tadi.
Aku harus mencari tahu, kenapa warga di sini tidak satupun yang memasang
bendera, dan kenapa juga bendera yang telah kupasang kemaren hilang
dari tiangnya!
Topo melangkah keluar dari pekarangan rumahnya, ia bermaksud untuk
menuju rumah ketua RT yang hanya berjarak beberapa rumah dari
kediamannya. Sepanjang jalan menuju rumah kediaman ketua RT, ia tidak
melihat satu pun warga yang berada di pekarangan atau di jalanan, ia
juga sama sekali tidak melihat kemeriahan peringatan atau perayaan 17-an
di jalan kecil ini. Tidak ada umbul-umbul, tidak ada bendera-bendera
kecil yang biasanya diikatkan di seutas tali lalu dibentangkan di atas
jalanan bersilang-silang. Suasana jalan ini terasa begitu lengang.
Seperti hari biasa, tidak ada sesuatu yang istimewa.
Sampailah Topo di sebuah rumah bercat hijau lumut dengan pagar besi
tempa berwarna hitam legam. Rumah Pak Bandi, ketua RT. Ia membuka pintu
pagar, lalu berdiri di depan teras rumah Pak Bandi yang asri, banyak
tanaman hias di pekarangan depan rumah Pak Bandi dan terdapat sebuah
sangkar burung perkutut berikut seekor burung tergantung di atas kanopi
teras. Rumah Pak Bandi sama juga dengan rumah warga yang lain tanpa
kibaran bendera, semakin penasaran ia untuk bertemu dengan pejabat RT
ini.
Assalamualaikum..! teriak Topo memberi salam ke empunya rumah. Ia
mengulang salamnya, karena salam pertama tidak ada jawaban dari sang
empunya rumah. Topo melihat sebuah tombol bel. Sedetik kemudian ia
memencet tombol bel itu. Ding-dong! bunyi suara bel cukup keras.
Seseorang membukakan pintu, seorang pemuda. Wajah pemuda ini tidak
dikenal olehnya. Mungkin kerabat atau keponakan Pak Bandi yang sedang
menginap di rumah ini, batin Topo. Pemuda belasan tahun itu pun
memandangnya dengan tatapan heran. Pandangan yang mencurigainya, ia
menatap Topo dari ujung kaki sampai kepala.
Ya, saya buru-buru ke sini makanya hanya memakai sandal jepit dan tidak
sempat menyisir rambut, kata Topo sedikit risih menyikapi tatapan penuh
curiga pemuda itu kepadanya.
Maaf, Bapak ini siapa? Dan mau apa ke sini? tanya Pemuda itu.
Pak Bandi, mana Pak Bandi? Saya mau bertemu Pak Bandi! jawab Topo sekenanya.
Maaf, mungkin Bapak salah alamat, kata pemuda itu singkat hendak menutup pintu rumah.
Eeeit, jangan ditutup dulu. Pak Bandi mana? kali ini nada bicara Topo
agak sedikit tinggi. Saya ini warga di sini, juga teman Pak Bandi. Mana
beliau? lanjut Topo sedikit menjelaskan. Mungkin pemuda ini sudah
dititipkan pesan oleh Pak Bandi apabila ada tamu yang tidak dikenal atau
orang asing agar jangan berlama-lama bercakap-cakap, bisa-bisa
dihipnotis atau dirampok misalnya. Dan pemuda ini menjalankan tugasnya
dengan baik.
Maaf Pak, Bapak salah alamat! kata pemuda itu ketus dan menutup pintu dengan keras.
Kurang ajar anak muda itu! batin Topo masih terpaku di depan pintu rumah
Pak Bandi. Burung perkutut yang sedari tadi diam mulai berkicau karena
kaget mendengar bunyi daun pintu yang ditutup keras.
Topo lalu menggedor pintu rumah Pak Bandi sedikit keras. Gedoran itu
rupanya menimbulkan suara yang berisik. Beberapa saat kemudian
rumah-rumah lain yang berada di sekeliling rumah Pak Bandi pintunya
terbuka dan diikuti oleh empunya rumah masing-masing keluar. Mereka
memandang heran ke rumah Pak Bandi. Topo masih berdiri di teras rumah
itu sambil mengetuk-ngetuk pintu. Ia tidak sadar bahwa tetangga yang
lain merasa terusik dengan perbuatannya itu.
Menyadari kelakuannya yang keterlaluan, ia berhenti menggedor pintu
rumah Pak Bandi. Topo merasa beberapa pasang mata telah menatapnya dari
kejauhan. Topo berpaling ke arah sebuah rumah yang tepat berada di depan
rumah Pak Bandi, itu rumah Pak Trisno yang bekerja di PLN, tetapi bukan
Pak Trisno yang ia lihat keluar dari rumah atau istri Pak Trisno atau
anak-anak Pak Trisno. Topo melihat seorang perempuan muda berdiri
menatapnya dari depan rumah Pak Trisno. Tatapan perempuan itu sama
dengan tatapan penuh tanya dan heran pemuda yang muncul dari dalam rumah
Pak bandi.
Siapa perempuan itu? Topo bertanya dalam hati.
Perempuan berusia muda itu mengangguk dan tersenyum sedikit saat
membalas tatapan Topo yang masih berdiri bingung. Topo kemudian keluar
dari pekarangan rumah Pak Bandi menuju rumah Pak Trisno. Perempuan itu
mungkin saudara Pak Trisno, ia cukup ramah, batin Topo.
Dik, maaf saya mau ketemu Pak Trisno. Tolong panggilkan beliau ya! kata
Topo penuh harap. Topo ingin bertanya kepada Pak Trisno, apakah ia tahu
keberadaan Pak Bandi ketua RT dan sekaligus ia ingin bertanya kenapa Pak
Trisno tidak memasang bendera merah putih hari ini.
Bapak ini siapa dan dari mana? tanya perempuan muda itu.
Bilang saja Topo! jawabnya singkat.
Tapi maaf Pak Topo, saya tidak kenal Pak Trisno, ujar
perempuan itu. Apakah Bapak warga sini? lanjut perempuan itu bertanya
lagi.
Keterlaluan! Saya ini warga kampung ini Dik, rumah saya tuh di ujung
jalan sana, nomor dua puluh dua. Lalu anda sendiri siapa? Kenapa berada
dirumah Pak Trisno?! kesabaran Topo habis juga, dihardiknya perempuan
yang berdiri di depannya.
Ini rumah saya, saya tidak tahu siapa Pak Trisno itu! kata perempuan
muda berwajah cantik dengan judes, ia mulai tidak menyukai gaya Topo
yang galak.
Menyadari nada bicaranya sangat tinggi, Topo lalu minta maaf. Perempuan
itu kemudian mempersilahkan Topo untuk duduk di kursi teras rumah Pak
Trisno. Tetangga yang lain melihat Topo dipersilahkan duduk oleh empunya
rumah, mereka lalu masuk ke rumahnya masing-masing. Pekarangan dan
jalanan kembali lengang.
Kalau boleh saya tahu, nama Adik ini siapa? tanya Topo ramah setelah duduk.
Nama saya Intan Permatawati Pak, jawab perempuan yang bernama Intan itu sambil menyalami Topo. Topo menjabat tangan Intan.
Wahnggak nyangka Pak Trisno mempunyai seorang keponakan secantik Intan,
puji Topo bukan berbasa-basi.
Saya bukan keponakan Pak Trisno dan saya
tidak kenal dengan Pak Trisno, kata Intan. Topo kembali bingung
mendengar jawaban Intan.
Lalu kenapa Intan berada di sini?
Karena ini rumah saya Pak!
Lho, ini rumah Pak Trisno! Rumah bercat hijau di depan itu, itu rumah Pak Bandi ketua RT, kata Topo menunjuk rumah di depannya.
Sepertinya Bapak bukan warga di sini ya? saya tidak pernah melihat Bapak
apalagi mengenal Bapak, Intan mulai menyadari bahwa orang yang ia ajak
bicara adalah orang asing yang mungkin tersesat.
Ya ampun! Dik Intan ini kok nggak percaya kalau saya ini warga di sini.
Makanya saat ini saya ingin bertemu Pak Bandi dan juga Pak Trisno karena
saya ingin menegur mereka, termasuk kamu Dik Intan! kata Topo
bersemangat dengan nada suara mantap.
Apa salah saya, kenapa Bapak ingin menegur saya? tanya Intan heran.
Intan, coba lihat di sekelilingmu, lihat halaman rumah-rumah yang lain, termasuk rumah ini. Apakah ada sesuatu yang kurang?
Intan memandangi rumah-rumah yang lain, ia bahkan mengedarkan seluruh
pandangan matanya dengan sangat serius. Ia perhatikan satu demi satu
rumah di sekelilingnya dengan begitu detail, tidak tampak kekurangan di
rumah-rumah tetangganya yang lain. Semua dalam keadaan wajar.
Pak Topo, tidak ada yang kurang dengan rumah-rumah tetanggaku dan semuanya wajar, jawab Intan.
Oke, itu menurutmu. Tetapi kamu tidak lupa khan, hari ini hari apa? tanya Topo meragukan rasa nasionalisme Intan.
Hari ini, hari Minggu. Memangnya kenapa? jawab Intan ringan balik bertanya.
Saya tidak menyangka, Dik Intan sebagai seorang yang
masih muda sudah hilang rasa nasionalisme dan rasa kebanggaan sebagai
seorang warga negara, ujar Topo kecewa.
Apa hubungannya dengan nasionalisme? Saya mencintai negara saya dan saya
sangat bangga dengan bangsa ini! sahut Intan cukup lantang. Rupanya
perkataan Topo tadi cukup menyinggung dirinya.
Tetapi kenapa Dik Intan dan warga di sini tidak mengibarkan bendera merah putih? Hari ini khan tanggal 17 Agustus, hari kemerdekaan bangsa dan negara kita, Indonesia! pecahlah semua rasa kesal Topo.
Indonesia??? itulah kata yang keluar dari mulut Intan yang terbuka menganga, melongo dan bingung.
Betul sekali Dik Intan, kenapa semua warga lupa untuk sekadar memasang bendera merah putih, kata Topo dengan nada sedih.
Menyadari hal itu, Intan berlari masuk ke dalam rumah. Sejurus kemudian
ia telah berdiri di depan Topo sambil memegang selembar kain
berwarna-warni. Topo memperhatikan selembar kain yang cukup besar itu
yang ada warna biru, kuning, hijau dan beberapa bulatan putih, polkadot.
Maaf Pak Topo, Ini bendera kami! kata Intan sambil menyerahkan kain
warna-warni itu kepada Topo. Ia menerimanya dengan tangan gemetar dan
sambil memandang selembar kain yang disebut oleh Intan sebagai bendera
itu, kemudian ia menangis. Menangis tersedu-sedu.
Topo lalu berdiri dengan lunglai, kakinya bergetar meninggalkan Intan,
dirasakannya ia begitu asing di tempat ini, di kampung ini dan di negara
ini. Pandangan mata Topo berkunang-kunang. Samar-samar di dengarnya
Intan berteriak.
Bapak sedang tidak berada di Indonesia!
Suara Intan memantul, menggema, gaungan suara Intan memekakkan genderang
telingannya. Dan memang Topo tidak pernah menemukan bendera merah putih
yang hilang dan sempat berkibar di halaman rumahnya. Topo merasakan
kelopak matanya terasa begitu berat oleh air mata yang terus berderai,
Topo memejamkan matanya. Topo sadar pagi ini ia tidak terbangun di
negaranya, tetapi di tanah kampung halamannya sendiri yang ternyata
bukan Indonesia. Ia hanya ingin tidur kembali pagi ini.
Dengan perasaan pedih dan perih, tepat jam sepuluh pagi
ini tanggal 17 Agustus, Topo membayangkan dengan bangga ia mengibarkan
sang merah putih di tiang bendera miring di halaman rumahnya bersama
istrinya Narti. Mereka berdua menghormati kibaran merah putih itu dengan
perasaan haru biru. Mungkin juga bersama berjuta-juta rakyat Indonesia
yang lain, entah dimana. Mungkin. Mungkin ya, mungkin tidak.***
Jakarta, 17 Agustus 2008