Sabtu, 30 Maret 2013

Cerpen - Bahasa Indonesia (4)

Kelopak mata Topo belum sepenuhnya terbuka, kelopak matanya masih separuh terbuka. Ia mengucek matanya yang lengket akibat belek yang dengan punggung tangannya, tahi mata yang mengeras itu kemudian rontok seperti upil yang dikorek oleh jemari. Kini Topo tidak lagi merem melek, kedua kelopak matanya sudah benar-benar terbuka. Sempurna.

Ia lalu menguap melenguh menuntaskan sisa kantuk yang masih menggantung, mulutnya mengeluarkan bunyi dan aroma yang tidak sedap, untuk didengar apalagi diendus. Topo bangkit dari ranjangnya meninggalkan suara deritan yang membuat ngilu pendengaran. Rupanya ranjang besi Topo perlu juga dilumeri gemuk atau oli, tapi ia tidak peduli. Ia masih bisa tidur nyenyak dan tidur lebih lama di ranjang berderit itu. Begitulah Topo, untuknya tidak penting tempat tidur yang bagus, yang penting kualitas tidurnya. Falsafah tidur yang cukup bermakna.

Topo bergeliat merenggangkan pinggangnya ke kiri ke kanan, ke depan ke belakang, juga meninggalkan suara gemeretek, tanda tulang belulang Topo perlu juga dilumeri kalsium, bukan gemuk atau oli. Tapi pagi ini ia tidak butuh kalsium, apakah yang bersumber dari susu atau biji kedelai. Tidak penting baginya minum susu kalsium. Pagi ini, ia hanya ingin segelas kopi panas, pahit boleh, manis lebih mantap.

Sedikit berjalan malas, Topo mencapai meja makan. Tetapi tidak ditemukan segelas kopi panas yang ia inginkan, hatinya agak sedikit geram. Apa saja kerja istriku pagi ini, rutuknya, menyediakan segelas kopi panas saja tidak becus! Namun Topo bukanlah tipe lelaki yang mudah mengeluarkan bentakan atau teriakan untuk perempuan, apalagi perempuan itu istrinya. Ia hanya ngedumel, itu pun dalam hati.

Istriku kemana? tanyanya lirih.

Topo beranjak ke dapur, tidak ditemukan Narti istrinya di dapur. Topo kembali ke meja makan, lalu ke halaman depan rumah, Narti tidak ada juga di situ.

Kemana istriku pagi-pagi begini? gerutunya sambil menggaruk kepala.

Topo sejenak tertegun di bawah kusen pintu rumahnya. Pandangannya tertuju ke arah tiang bendera yang berdiri doyong ke kiri dari tempatnya berdiri. Akan tetapi perhatian Topo bukanlah tertuju kepada tiang bendera yang doyong ke kiri itu.

Walah! Kemana benderanya? teriak Topo terkejut sendiri.Topo lalu mendekati tiang bendera itu, dengan cermat diperhatikannya tanda-tanda di sekitar tiang bendera itu. Tidak ada tanda-tanda pencurian, bendera merah putih yang kemaren sore ia kibarkan di tiang bambu itu lenyap.

Apa mungkin tali pengikatnya lepas? katanya bertanya dalam hati. Tetapi kalau tali pengikatnya lepas terbawa angin, pasti masih ada sisa tali di ujung tiang ini, batinnya.

Masih diliputi tanda tanya hilangnya bendera merah putih dari tiang bendera di halaman rumahnya , pandangan mata Topo mengedari halaman rumah tetangganya. Betapa sangat terkejutnya ia, semua tiang bendera di rumah tetangganya pun tanpa kibaran merah putih.

Gawat ini! Gawat-gawat-gawatKeterlaluan ini, hari ini khan tanggal 17 Agustus, kenapa tetanggaku tidak mengibarkan bendera merah putih, kenapa mereka tidak mengibarkan sang merah putih. Apakah rasa nasionalisme orang-orang Indonesia jaman sekarang termasuk tetanggaku, sudah pupus, sudah mampus?! katanya geram.

Topo masih berpikir, kalau begitu kemaren sore hanya dirinya yang memasang bendera merah putih di tiang bendera rumahnya. Tetapi kenapa bendera merah putih yang ia kibarkan kemaren sore, pagi ini ikut hilang? 

Apakah ada orang yang benci kepadaku karena aku satu-satunya warga yang memasang bendera di halaman rumahku? katanya membatin wajah berubah muram.

Ke mana rasa nasionalisme orang-orang di lingkunganku, di mana rasa menghormati jasa-jasa para pahlawan pembela tanah air dari penjajahan? Dan apa susahnya hanya memasang setahun sekali sebuah bendera merah putih, untuk sekadar merayakan bahwa negara ini sudah merdeka bertahun-tahun lamanya! Topo benar-benar kesal atas hilangnya bendera miliknya dan tentu saja dengan perilaku tetangganya yang anasionalis

###

Topo bukanlah terlahir sebagai anak seorang pejuang, apalagi anak seorang pahlawan atau tentara. Topo hanya seorang lelaki berusia empat puluhan yang sewaktu masih kanak-kanak sempat mengikuti sebuah organisasi kepanduan, Pramuka namanya. Hanya dari kegiatan kepramukaan kemudian ia mengerti sedikit tentang nasionalisme dan kebanggaan sebagai warga negara suatu bangsa yang merdeka. 

Ekspresi rasa nasionalis dan wujud perayaan kemerdekaan Indonesia secara rutin, setiap tahunnya, ia lakukan dengan mengibarkan bendera merah putih di halaman rumahnya. Topo bukan juga Ketua RT atau RW apalagi Lurah di kampung ini, sehingga ia tentu tidak mempunyai kekuasaan untuk memerintahkan warga mengibarkan bendera merah putih. Sama sekali bukan.

Gara-gara benderanya hilang dan ia tidak melihat satupun bendera yang berkibar di lingkungannya lelaki ini sampai lupa kekesalan terhadap istrinya Narti yang tidak menyediakan segelas kopi panas, dan juga ia lupa mencari tahu keberadaan Narti yang sempat ia cari-cari tadi.

Aku harus mencari tahu, kenapa warga di sini tidak satupun yang memasang bendera, dan kenapa juga bendera yang telah kupasang kemaren hilang dari tiangnya! 

Topo melangkah keluar dari pekarangan rumahnya, ia bermaksud untuk menuju rumah ketua RT yang hanya berjarak beberapa rumah dari kediamannya. Sepanjang jalan menuju rumah kediaman ketua RT, ia tidak melihat satu pun warga yang berada di pekarangan atau di jalanan, ia juga sama sekali tidak melihat kemeriahan peringatan atau perayaan 17-an di jalan kecil ini. Tidak ada umbul-umbul, tidak ada bendera-bendera kecil yang biasanya diikatkan di seutas tali lalu dibentangkan di atas jalanan bersilang-silang. Suasana jalan ini terasa begitu lengang. Seperti hari biasa, tidak ada sesuatu yang istimewa.

Sampailah Topo di sebuah rumah bercat hijau lumut dengan pagar besi tempa berwarna hitam legam. Rumah Pak Bandi, ketua RT. Ia membuka pintu pagar, lalu berdiri di depan teras rumah Pak Bandi yang asri, banyak tanaman hias di pekarangan depan rumah Pak Bandi dan terdapat sebuah sangkar burung perkutut berikut seekor burung tergantung di atas kanopi teras. Rumah Pak Bandi sama juga dengan rumah warga yang lain tanpa kibaran bendera, semakin penasaran ia untuk bertemu dengan pejabat RT ini.

Assalamualaikum..! teriak Topo memberi salam ke empunya rumah. Ia mengulang salamnya, karena salam pertama tidak ada jawaban dari sang empunya rumah. Topo melihat sebuah tombol bel. Sedetik kemudian ia memencet tombol bel itu. Ding-dong! bunyi suara bel cukup keras.

Seseorang membukakan pintu, seorang pemuda. Wajah pemuda ini tidak dikenal olehnya. Mungkin kerabat atau keponakan Pak Bandi yang sedang menginap di rumah ini, batin Topo. Pemuda belasan tahun itu pun memandangnya dengan tatapan heran. Pandangan yang mencurigainya, ia menatap Topo dari ujung kaki sampai kepala.

Ya, saya buru-buru ke sini makanya hanya memakai sandal jepit dan tidak sempat menyisir rambut, kata Topo sedikit risih menyikapi tatapan penuh curiga pemuda itu kepadanya.

Maaf, Bapak ini siapa? Dan mau apa ke sini? tanya Pemuda itu.

Pak Bandi, mana Pak Bandi? Saya mau bertemu Pak Bandi! jawab Topo sekenanya.

Maaf, mungkin Bapak salah alamat, kata pemuda itu singkat hendak menutup pintu rumah.

Eeeit, jangan ditutup dulu. Pak Bandi mana? kali ini nada bicara Topo agak sedikit tinggi. Saya ini warga di sini, juga teman Pak Bandi. Mana beliau? lanjut Topo sedikit menjelaskan. Mungkin pemuda ini sudah dititipkan pesan oleh Pak Bandi apabila ada tamu yang tidak dikenal atau orang asing agar jangan berlama-lama bercakap-cakap, bisa-bisa dihipnotis atau dirampok misalnya. Dan pemuda ini menjalankan tugasnya dengan baik.

Maaf Pak, Bapak salah alamat! kata pemuda itu ketus dan menutup pintu dengan keras.

Kurang ajar anak muda itu! batin Topo masih terpaku di depan pintu rumah Pak Bandi. Burung perkutut yang sedari tadi diam mulai berkicau karena kaget mendengar bunyi daun pintu yang ditutup keras.

Topo lalu menggedor pintu rumah Pak Bandi sedikit keras. Gedoran itu rupanya menimbulkan suara yang berisik. Beberapa saat kemudian rumah-rumah lain yang berada di sekeliling rumah Pak Bandi pintunya terbuka dan diikuti oleh empunya rumah masing-masing keluar. Mereka memandang heran ke rumah Pak Bandi. Topo masih berdiri di teras rumah itu sambil mengetuk-ngetuk pintu. Ia tidak sadar bahwa tetangga yang lain merasa terusik dengan perbuatannya itu.

Menyadari kelakuannya yang keterlaluan, ia berhenti menggedor pintu rumah Pak Bandi. Topo merasa beberapa pasang mata telah menatapnya dari kejauhan. Topo berpaling ke arah sebuah rumah yang tepat berada di depan rumah Pak Bandi, itu rumah Pak Trisno yang bekerja di PLN, tetapi bukan Pak Trisno yang ia lihat keluar dari rumah atau istri Pak Trisno atau anak-anak Pak Trisno. Topo melihat seorang perempuan muda berdiri menatapnya dari depan rumah Pak Trisno. Tatapan perempuan itu sama dengan tatapan penuh tanya dan heran pemuda yang muncul dari dalam rumah Pak bandi.

Siapa perempuan itu? Topo bertanya dalam hati.  

Perempuan berusia muda itu mengangguk dan tersenyum sedikit saat membalas tatapan Topo yang masih berdiri bingung. Topo kemudian keluar dari pekarangan rumah Pak Bandi menuju rumah Pak Trisno. Perempuan itu mungkin saudara Pak Trisno, ia cukup ramah, batin Topo.

Dik, maaf saya mau ketemu Pak Trisno. Tolong panggilkan beliau ya! kata Topo penuh harap. Topo ingin bertanya kepada Pak Trisno, apakah ia tahu keberadaan Pak Bandi ketua RT dan sekaligus ia ingin bertanya kenapa Pak Trisno tidak memasang bendera merah putih hari ini.

Bapak ini siapa dan dari mana? tanya perempuan muda itu.

Bilang saja Topo! jawabnya singkat.

Tapi maaf Pak Topo, saya tidak kenal Pak Trisno, ujar perempuan itu. Apakah Bapak warga sini? lanjut perempuan itu bertanya lagi.

Keterlaluan! Saya ini warga kampung ini Dik, rumah saya tuh di ujung jalan sana, nomor dua puluh dua. Lalu anda sendiri siapa? Kenapa berada dirumah Pak Trisno?! kesabaran Topo habis juga, dihardiknya perempuan yang berdiri di depannya.

Ini rumah saya, saya tidak tahu siapa Pak Trisno itu! kata perempuan muda berwajah cantik dengan judes, ia mulai tidak menyukai gaya Topo yang galak.

Menyadari nada bicaranya sangat tinggi, Topo lalu minta maaf. Perempuan itu kemudian mempersilahkan Topo untuk duduk di kursi teras rumah Pak Trisno. Tetangga yang lain melihat Topo dipersilahkan duduk oleh empunya rumah, mereka lalu masuk ke rumahnya masing-masing. Pekarangan dan jalanan kembali lengang.

Kalau boleh saya tahu, nama Adik ini siapa? tanya Topo ramah setelah duduk.

Nama saya Intan Permatawati Pak, jawab perempuan yang bernama Intan itu sambil menyalami Topo. Topo menjabat tangan Intan.

Wahnggak nyangka Pak Trisno mempunyai seorang keponakan secantik Intan, puji Topo bukan berbasa-basi. 

Saya bukan keponakan Pak Trisno dan saya tidak kenal dengan Pak Trisno, kata Intan. Topo kembali bingung mendengar jawaban Intan.

Lalu kenapa Intan berada di sini?

Karena ini rumah saya Pak!

Lho, ini rumah Pak Trisno! Rumah bercat hijau di depan itu, itu rumah Pak Bandi ketua RT, kata Topo menunjuk rumah di depannya.

Sepertinya Bapak bukan warga di sini ya? saya tidak pernah melihat Bapak apalagi mengenal Bapak, Intan mulai menyadari bahwa orang yang ia ajak bicara adalah orang asing yang mungkin tersesat.

Ya ampun! Dik Intan ini kok nggak percaya kalau saya ini warga di sini. Makanya saat ini saya ingin bertemu Pak Bandi dan juga Pak Trisno karena saya ingin menegur mereka, termasuk kamu Dik Intan! kata Topo bersemangat dengan nada suara mantap.

Apa salah saya, kenapa Bapak ingin menegur saya? tanya Intan heran.

Intan, coba lihat di sekelilingmu, lihat halaman rumah-rumah yang lain, termasuk rumah ini. Apakah ada sesuatu yang kurang?

Intan memandangi rumah-rumah yang lain, ia bahkan mengedarkan seluruh pandangan matanya dengan sangat serius. Ia perhatikan satu demi satu rumah di sekelilingnya dengan begitu detail, tidak tampak kekurangan di rumah-rumah tetangganya yang lain. Semua dalam keadaan wajar.

Pak Topo, tidak ada yang kurang dengan rumah-rumah tetanggaku dan semuanya wajar, jawab Intan.

Oke, itu menurutmu. Tetapi kamu tidak lupa khan, hari ini hari apa? tanya Topo meragukan rasa nasionalisme Intan.

Hari ini, hari Minggu. Memangnya kenapa? jawab Intan ringan balik bertanya.

Saya tidak menyangka, Dik Intan sebagai seorang yang masih muda sudah hilang rasa nasionalisme dan rasa kebanggaan sebagai seorang warga negara, ujar Topo kecewa.

Apa hubungannya dengan nasionalisme? Saya mencintai negara saya dan saya sangat bangga dengan bangsa ini! sahut Intan cukup lantang. Rupanya perkataan Topo tadi cukup menyinggung dirinya.

Tetapi kenapa Dik Intan dan warga di sini tidak mengibarkan bendera merah putih? Hari ini khan tanggal 17 Agustus, hari kemerdekaan bangsa dan negara kita, Indonesia! pecahlah semua rasa kesal Topo.

Indonesia??? itulah kata yang keluar dari mulut Intan yang terbuka menganga, melongo dan bingung.

Betul sekali Dik Intan, kenapa semua warga lupa untuk sekadar memasang bendera merah putih, kata Topo dengan nada sedih.

Menyadari hal itu, Intan berlari masuk ke dalam rumah. Sejurus kemudian ia telah berdiri di depan Topo sambil memegang selembar kain berwarna-warni. Topo memperhatikan selembar kain yang cukup besar itu yang ada warna biru, kuning, hijau dan beberapa bulatan putih, polkadot.

Maaf Pak Topo, Ini bendera kami! kata Intan sambil menyerahkan kain warna-warni itu kepada Topo. Ia menerimanya dengan tangan gemetar dan sambil memandang selembar kain yang disebut oleh Intan sebagai bendera itu, kemudian ia menangis. Menangis tersedu-sedu.

Topo lalu berdiri dengan lunglai, kakinya bergetar meninggalkan Intan, dirasakannya ia begitu asing di tempat ini, di kampung ini dan di negara ini. Pandangan mata Topo berkunang-kunang. Samar-samar di dengarnya Intan berteriak.

Bapak sedang tidak berada di Indonesia!

Suara Intan memantul, menggema, gaungan suara Intan memekakkan genderang telingannya. Dan memang Topo tidak pernah menemukan bendera merah putih yang hilang dan sempat berkibar di halaman rumahnya. Topo merasakan kelopak matanya terasa begitu berat oleh air mata yang terus berderai, Topo memejamkan matanya. Topo sadar pagi ini ia tidak terbangun di negaranya, tetapi di tanah kampung halamannya sendiri yang ternyata bukan Indonesia. Ia hanya ingin tidur kembali pagi ini.

Dengan perasaan pedih dan perih, tepat jam sepuluh pagi ini tanggal 17 Agustus, Topo membayangkan dengan bangga ia mengibarkan sang merah putih di tiang bendera miring di halaman rumahnya bersama istrinya Narti. Mereka berdua menghormati kibaran merah putih itu dengan perasaan haru biru. Mungkin juga bersama berjuta-juta rakyat Indonesia yang lain, entah dimana. Mungkin. Mungkin ya, mungkin tidak.***

Jakarta, 17 Agustus 2008


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar